| Petitum Permohonan |
Hal : PERMOHONAN PRA PERADILAN
Lamp : - 1 (satu) lembar Surat Kuasa Khusus
Kepada yang Terhormat
Ketua Pengadilan Negeri Marisa
Di -
Marisa
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabbarakatu.
Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini :
- Adv. HENDRIYANTO MAHMUD, S.H
- Adv. ISMAIL ABAS, S.Hi
- Adv. MOHAMAD FAJRIN H. NIODE, S.H.,M.H
- Adv. FITRI USMAN, S.H
Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum pada Law Office Hym & Rekan yang beralamat di Blok Plan Perkantoran, Perum Tulus Zanur Desa Palopo, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, Nomor Hp: 085342304340, Email : hendriyantomahmud161092@gmail.com, dalam hal ini sebagai Penerima Kuasa Berdasarkan Surat Kuasa Khusus No : …./SKK.PDN/HYM/XII/2025, tertanggal …. Desember 2025. Bertindak untuk dan atas nama, serta mewakili Pemberi Kuasa :
Nama Lengkap : RIZALDI SAPUTRA LATIF Alias EZA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 20 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa,
Kabupaten Pohuwato.
Selanjutnya disebut sebagai--------------------------------------------------“PEMOHON”
------------------------------------M E L A W A N-----------------------------------
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Gorontalo Cq. Kepala Kepolisian Resort Pohuwato Cq Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Pohuwato. Yang beralamat di Jl. Trans Sulawesi Desa Palopo Kecamatan Marisa, Pohuwato.
Selanjutnya disebut sebagai-------------------------------------------------“TERMOHON”
Dengan ini, mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN Sehubungan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : B/91.a/XI/RES.1.6/2025/Reskrim tanggal 24 November 2025. Terkait Dugaan Tindak Pidana Penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang terjadi di Desa Botubilotahu, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, pada hari selasa tanggal 12 bulan agustus tahun 2025/sekitar pukul 01.00 WITA.
Adapun dasar dan alasan diajukannya Permohonan Praperadilan ini adalah sebagai berikut :
A. Opening Statement
Bahwa sebelum PEMOHON menguraikan Permohonan Praperadilan ini, Ijinkan PEMOHON menyampaikan Opening Statement dengan mengutip Pendapat Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra, (sumber : Nasional.Sindonews.com, Yusril Imbau Upaya Praperadilan Harus dihormati, Kamis 26/05/2015) sebagai berikut:
"Meminta semua pihak menghormati apabila warga negara memutuskan untuk mengambil langkah hukum, dalam pembelaan atas suatu perkara yang menimpa dirinya. "Termasuk menempuh gugatan praperadilan, maka langkah itu harus kita hormati”.
Negara berwenang untuk menyatakan warganya menjadi tersangka maupun terdakwa dalam sebuah tindak pidana. Namun warga negara juga memiliki hak untuk membela diri. “Tidak perlu kita melecehkan orang yang bersangkutan," Negara menjalankan kekuasaannya melaiui aparatur yang notabene adalah manusia. Sehingga bukan tidak mungkin ada kesalahan dalam proses penegakan hukum. "Bahkan bisa juga menyalahgunakan wewenang yang ada pada dirinya”.
Dalam amandemen UUD 1945 dan KUHP disebutkan, negara dengan warganya dalam penegakan hukum adalah seimbang. Kita bukan lagi hidup di zaman kolonial, di mana posisi negara lebih kuat dari warganya. Ini pula makna dari due process of law artinya proses penegakan hukum yang benar dan adil. Bukan atas dasar stigma apalagi kebencian terhadap warga yang belum tentu bersalah atas sesuatu yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Penegakan hukum haruslah fair, jujur dan adil serta jauh dari kesewenang-wenangan.
Perlu ditegaskan, PEMOHON sama sekali tidak berniat berhadap-hadapan dengan Institusi Kepolisian. Justru sebaliknya, PEMOHON hendak melawan upaya pemaksaan Pentapan Tersangka kepada PEMOHON dalam proses hukum yang dibungkus dengan dalih penegakan hukum oleh segelintir oknum tak bertanggung jawab, yang dalam istilah publik dikenal sebagai Kriminalisasi. Bahwa apa yang terjadi pada PEMOHON, bukan tak mungkin terjadi pada yang lain. Maka Kepolisian dengan orang-orang baik yang masih tersisa dan bertahan di dalamnya, mesti diselamatkan dari penegakan hukum yang dzalim dan melanggar due process of law.
Summum lus Summa Injuria, Summa lex, Summa Crux - Hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya. Pengadilan tanpa keadilan adalah batal demi hukum pengadilannya. Maka dengan asas dan harap yang sama, Kami datang memohon kepada Bapak/Ibu Hakim yang mulia, sebagai penjaga gawang utama dan terakhir keadilan yang kami harapkan hadir.
Tak lupa kami berdoa, semoga Bapak/Ibu Hakim yang mulia senantiasa diberikan kekuatan, mata hati dan hidayah dari Allah SWT untuk menghadirkan keadilan, tidak hanya bagi PEMOHON, tetapi bagi pencari keadilan dan kelak, setiap palu yang diketuk yang mulia, menjadi amal dan ladang pahala yang membuka pintu surga;------------
B. Landasan Dan Dasar Permohonan Pra Peradilan Terkait Penetapan PEMOHON Sebagai Tersangka.
- Dalam praktik hukum di Inggris, Pra peradilan ini dapat diikuti sejak tahun 1792 dalam kasus Rex v. Holland, 4 Durn. & E. 691, 100 Eng. Rep. 1248 (K.B. 1792), di mana ketika seorang tersangka yang diduga melakukan perbuatan pemborosan uang negara atau korupsi di India meminta kesempatan kepada hakim untuk memeriksa bukti bukti terkait dengan perkaranya dan meminta dilakukan pemeriksaan sidang praperadilan. Memang Hakim Lord Kenyon, C.J., menyatakan : “There is no principle or precedent to warrant it. Nor was such a motion as the present ever made; and if We were to grant it, it would subvert the whole system of criminal law”. Meskipun demikian, Hakim J. Buller, menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh tersangka sebagai mosi untuk mempertahankan hak. (Charles Durnford, Sir Edward Hyde East: 1793, Report of Cases Argued and Determined in the Court of King’s Bench, Vol. 4, Dublin, hal. 692- 693).
- Hal ini kemudian dipraktikkan juga di Amerika Serikat, sebagaimana dapat dibaca sebagai pendapat dari Hakim Benjamin Nathan Cardozo dalam perkara People Ex Rel. Lemon v. Supreme Court, 156 N.E. 84 (NY 1927), yang antara lain menyatakan tidak sepenuhnya menutup kemungkinan pemeriksaan praperadilan (https://www.courtlistener.com/opinion/3635796/people-ex-rel-lemon v-supreme-court/?) terakhir diakses pada tanggal 25 Mei 2022). Praperadilan dalam bentuk preliminary hearing/examination di Amerika Serikat wajib dilakukan paling lama 14 hari apabila terdakwa ditahan dan paling lama 21 hari apabila terdakwa tidak ditahan (Rule 5.1 (c) Federal Rules of Criminal Procedure).
- Sebagaimana dikemukakan oleh Robert L. Fletcher, praktik praperadilan pun dilakukan dengan cara memeriksa saksi dan menghadirkan saksi sendiri seperti yang menjadi praktik dalam abad modern ini (Robert L. Fletcher: 1960, Pretrial Discovery in State Criminal Cases, 12 Stan. L. Rev. 293 1959-1960, hal. 294).
- Peran penting dari praktik Pra Peradilan ini harus dipahami dalam konteks untuk mencari keadilan dan kebenaran dan tentunya agar hukum dapat ditegakkan dengan efektif. Di Amerika Serikat, praktik praperadilan terus berkembang dengan tujuan untuk memberi perlindungan terhadap hak asasi manusia, sehingga praperadilan ini harus dilihat sebagai perlindungan hak asasi manusia dari tindakan semena-mena yang dapat dilakukan oleh penegak hukum dalam proses awal penegakan hukum. Hal ini dianggap penting dalam melindungi keselamatan publik (John S. Goldkamp: 1993, Judicial Responsibility for Pretrial Release Decisionmaking and the Information Role of Pretrial Services, 57 Fed. Probation 28 1993, hal. 28).
- Di Indonesia, pranata praperadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dipengaruhi dari keberadaan dan praktiknya baik di Inggris maupun di AS. Lembaga praperadilan dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol horizontal terhadap tindakan penyidik dan/atau penuntut umum dalam menjalankan fungsi, kewenangan dan tanggung jawab dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Akan tetapi, saat ini telah terjadi perkembangan yang luar biasa dalam lembaga praperadilan, di mana sebelumnya obyek praperadilan adalah hanya tentang sah tidaknya penangkapan, penahanan dan penghentian penyidikan atau penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, namun sekarang penetapan seseorang menjadi tersangka, penggeledahan dan penyitaan dapat pula menjadi obyek praperadilan.
- Bahwa di samping itu, eksistensi lembaga praperadilan yang diatur dalam KUHAP tidak bisa dilepaskan dari hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, "Negara Indonesia adalah negara hukum" dan menurut Pasal 28D UUD 1945, "setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".
Ketentuan kedua pasal UUD 1945 ini bermakna bahwa hak asasi manusia dimaksudkan untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat.
- Bahwa menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU IX/2011, tanggal 01 Mei 2012 halaman 30 menyatakan, "...filosofi diadakannya pranata Praperadilan yang justru menjamin hak-hak Tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia".
Dengan demikian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini pada hakekatnya Praperadilan itu adalah untuk menjamin hak tersangka, dari kesewenang- wenangan yang mungkin dan dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum, sejak dilakukan penyelidikan sampai ditetapkan sebagai Tersangka.
- Bahwa pengajuan Permohonan Praperadilan oleh Pemohon berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP.
Lembaga Praperadilan sebagai sarana untuk melakukan kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum seperti Penyelidik, dan/atau Penyidik termasuk dalam penetapan Tersangka. Pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyelidikan, penyidikan sangat penting karena sejak seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka aparat penegak hukum dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seorang manusia. Sebagai upaya hukum untuk mencegah agar aparat penegak hukum tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam melaksanakan kewenangannya maka diperlukan lembaga yang dapat melakukan pengawasan horizontal terhadap aparat penegak hukum. Oleh karena itu pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum termasuk dalam penetapan tersangka dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Untuk mengukur wewenang tersebut digunakan menurut ketentuan undang-undang dapat dilihat dari tujuan Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP, yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan dan tujuan Penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
- Bahwa pengujian keabsahan proses penyelidikan, penyidikan dan penetapan tersangka melalui lembaga praperadilan, patut dilakukan karena sejak seseorang ditetapkan sebagai tersangka maka sejak itu pula segala upaya paksa dapat dilakukan terhadap seorang tersangka dan harta kekayaan tersangka, dengan alasan untuk kepentingan penegakan hukum. Oleh karena penetapan tersangka merupakan bagian akhir dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan sebagaimana dimaksud oleh pasal 1 angka 2 KUHAP, maka penetapan tersangka tersebut perlu diuji kebenaran atau keabsahannya.
Secara hukum lembaga yang berwenang menguji dan menilai keabsahan "Penetapan Tersangka" adalah pengadilan melalui praperadilan. Oleh karena itu, dalam menguji keabsahan penetapan status tersangka pada hakekatnya adalah menguji dasar- dasar dari tindakan penyelidik, penyidik yang akan diikuti upaya paksa. Dengan kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya penetapan tersangka, pada hakekatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang warga negara.
- Bahwa dalam praktik hukum Lembaga Praperadilan harus diartikan sebagai upaya pengawasan terhadap penggunaan wewenang oleh penyidik untuk menjamin agar hak asasi manusia tidak dilanggar oleh aparat penegak hukum atas nama penegakan hukum, sebagaimana secara tegas dituangkan dalam konsideran Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP yang menjadi spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi :
- "Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
- Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945.”
Penegasan terhadap hal ini juga dilakukan dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke-6 yang berbunyi :
“...Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantabnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945".
- Bahwa dalam praktik hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 secara tegas menyatakan bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek praperadilan. Dengan demikian maka Permohonan Praperadilan oleh PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melalui praperadilan adalah sah menurut hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangannya yang berbunyi :
"Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil PEMOHON mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum"; (Putusan MK hal 105-106).
- Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, maka pada hakekatnya hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia telah secara tegas mengatur adanya lembaga koreksi atas penetapan seseorang sebagai Tersangka.
Dengan kata lain, menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, adalah merupakan hak asasi seorang untuk menguji sah atau tidak sahnya ketika ditetapkan sebagai Tersangka. Apalagi jika terjadi kesalahan dilakukan oleh penyidik in casu TERMOHON dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, dalam hal ini PEMOHON maka adalah merupakan hak seorang warga negara untuk melakukan koreksi atas penetapannya sebagai tersangka in casu PEMOHON.
Kegiatan melakukan koreksi terhadap kesalahan penyidik atau penetapan tersangka tersebut dilakukan melalui lembaga praperadilan. Koreksi ini dilakukan untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan/ kesewenangan yang mungkin secara sengaja atau karena ialai dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini Penyidik atau Kepolisian.
Oleh karena itu, hakim tidak boleh menolak upaya koreksi atas kesalahan penegak hukum yang melanggar hak asasi manusia hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau karena tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan secara tegas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.yang menyatakan :
"Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas.melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya".
- Bahwa sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait dengan objek praperadilan termasuk penetapan tersangka. Sebagai contoh Putusan Perkara praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Putusan Praperadilan No. 38/Pid.Prap /2012/PN.Jkt-Sel., tanggal 27 November 2012, yang mana telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain "tidak sah menurut hukum tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka".
Bahkan yang paling baru adalah Putusan Praperadilan dalam perkara No. 04/Pid/Prap/2014/ PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, secara tegas antara lain, "Menyatakan penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah"; “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON" dan Putusan Praperadilan dalam perkara No. 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015, secara tegas antara lain, "Menyatakan tidak sahnya penetapan seseorang menjadi tersangka".
- Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/ PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, telah ditentukan adanya norma baru yang mengikat seluruh warga negara Republik Indonesia yaitu syarat untuk dapat ditetapkan sebagai tersangka, selain adanya bukti permulaan harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap calon tersangkanya, “...harus ditafsirkan sekurang kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.." (Putusan MK Nomor 21/ PUU-XII/2014, hal 98).
- Bahwa PEMOHON telah di tetapkan sebagai tersangka oleh TERMOHON berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : B/91.a/XI/RES.1.6/2025/Reskrim tanggal 24 November 2025. Terkait Dugaan Tindak Pidana Penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang terjadi di Desa Botubilotahu, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, pada hari selasa tanggal 12 bulan agustus tahun 2025/sekitar pukul 01.00 WITA.
- Bahwa penetapan PEMOHON sebagai tersangka menurut TERMOHON didasari adanya dua bukti permulaan yakni yakni keterangan saksi dan surat dalam hal ini Visum Et Repertum sebagaimana penyampaian KHOIRUNNAS, S.I.K.,M.H selaku Kepala Satuan Reserse Kriminal dalam rapat gelar perkara khusus Jum’at 24 Oktober 2025 No : B/1314/X/RES.1.6/2025/Reskrim yang dihadiri kedua bela pihak dan kuasa hukum PEMOHON.
- Bahwa penetapan tersangka kepada PEMOHON, tidak terdapatnya bukti yang ada pada diri PEMOHON yang menunjukan telah terjadinya dugaan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh PEMOHON.
- Bahwa untuk memenuhi kepastian proses hukum tersebut, dalam hal menetapkan seseorang sebagai tersangka tentunya harus dibarengi dengan minimal 2 (dua) alat bukti permulaan yang diperoleh dengan cara yang sah dan bukanlah berdasarkan pernyataan atau keterangan sepihak yang masih diuji kebenarannya di Pengadilan.
- Bahwa Penetapan Tersangka yang tidak dibarengi dengan minimal 2 (dua) alat bukti tersebut jelas melanggar prinsip due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara menurut hukum yang dianut negara RI, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah melanggar prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
- Bahwa Prinsip due process of law membawa konsekuensi bahwa tindakan-tindakan aparatur penyelenggara negara bukan saja harus didasarkan atas norma hukum materiil yang adil, tetapi juga harus didasarkan pada hukum formil yang mengatur prosedur untuk menegakkan ketentuan-ketentuan hukum materiil yang memenuhi sayarat-syarat keadilan, jadi ketentuan-ketentuan tentang prosedur tidak boleh bersifat arbiter menurut selera penyelenggara kekuasaan negara.
- Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas Kepastian Hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penetapan Tersangka) tidak dipenuhi, maka sudah pasti proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan.
- Bahwa berdasarkan argumentasi yuridis tersebut di atas, maka ini merupakan kewenangan dari praperadilan untuk menilai sah atau tidak sahnya penetapan Tersangka. Oleh karena itu Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh PEMOHON beralasan dan menurut hukum;-----------------------------------------------------------------------------------------
C. Alasan Permohonan Pra Peradilan
Fakta-Fakta / Kronologis :
- Bahwa pada malam hari tanggal 11 agustus 2025 PEMOHON berada dirumah Lk. Adit yang merupakan tempat PEMOHON bekerja, saat itu pemohon disuruh oleh Lk. Adit untuk melakukan pengelasan besi bersama 1 orang rekannya yakni Lk. Arjun. Kemudian sekitar jam 02:00 tanggal 12 tanggal strom di rumah Lk. Adit tiba-tiba mati, sehingga PEMOHON dan Lk. Arjun menghentikan pekerjaan sekeligus istrahat. Tidak lama kemudian sekitar jam 02:30 terdengar teriak (Bakuku) dari luar rumah, dan PEMOHON dan Lk. Arjun mengecek keluar, setibanya didepan rumah PEMOHON dan Lk. Arjun melihat dari kejauhan sekitar 50 Meter terdapat tiga orang yang sedang berjalan menuju tempat PEMOHON dan Lk. Arjun. Yang tidak lain Adalah Lk. Uchi (Terduga Pelaku), Lk. Nando, Lk. Ical, Lk. Bayu. Kemudian Lk. Uchi (Terduga Pelaku) berteriak dengan nada keras “Kenapa (Kiapa)”, sontak PEMOHON balas ini dengan memberitahukan “ini saya reza” (Ini Kita Te Keza), lalu Lk. Uchi (Terduga Pelaku) menjawabnya “Lalu Kenapa (Baru Kiapa)”. Dengan mengarahkan pukulan dengan tangan terkepal kepada PEMOHON dibagian leher, dan PEMOHON tanpa berfikir (Spontan) membalas pukulan tersebut dibagian wajah perihal untuk membela diri. lalu Lk. Uchi (Terduga Pelaku) Kembali memukul PEMOHON dibagian wajah dan PEMOHON menangkis pukulan tersebut dengan mengunakan kedua tangan untuk menutupi wajah. Setelah itu Lk. Uchi (Terduga Pelaku) memiting PEMOHON dengan menggunakan kedua tangannya lalu menjatuhkan PEMOHON dengan menggunakan kaki sehingga PEMOHON terjatuh dan Lk. Uchi (Terduga Pelaku) langsung menduduki bagian perut PEMOHON dengan posisi terlentang dan PEMOHON sudah mengetahui lagi apa yang terjadi dikerenakan PEMOHON disaat itu sudah tidak sadarkan diri.
- Bahwa selanjutnya, sekitar jam 03:00 WITA PEMOHON kembali sadar, dan saat itu PEMOHON sudah berada di belakang rumahnya Lk. Adit tempat PEMOHON bekerja. Tidak lama kemudian Lk. Uchi (Terduga Pelaku) datang menghampiri PEMOHON yang saat itu PEMOHON bersama Lk. Zul dan Lk. Adi untuk kembali mengajak berkelahi (Duel) tapi PEMOHON tidak merespon, lalu PEMOHON bertanya kepada Lk. Uchi (Terduga Pelaku) “Kita Pe Salah Ini Apa?” PEMOHON punya salah apa? Lalu Lk. Uchi (Terduga Pelaku) menjawabnya “So Ngana Ini Yang Kita Niat, Jaga Ba Cirita Jaha Pa Kita” (Sudah PEMOHON lah yang Lk. Uchi (Terduga Pelaku) niat di cari, karena PEMOHON sudah bercerita tidak bagus tentang Lk. Uchi (Terduga Pelaku)). Lalu kemudian PEMOHON disiram menggunakan air oleh Lk. Uchi (Terduga Pelaku) kebagian badannya, setelah itu Lk. Uchi (Terduga Pelaku) pergi meninggalkan PEMOHON.
- Bahwa oleh karena, kondisi PEMOHON sudah berlumuran darah dibagian yang keluar dari mata kiri dan hidung, PEMOHON meminta kepada temanya Lk. Adi untuk mengantarkan PEMOHON di Puskesmas Marisa.
- Bahwa sesampainya di Puskesmas Marisa, luka robek dibagian pelipis mata kiri PEMOHON langsung dijahit sebanyak 11 Jahitan. Setelah itu, PEMOHON meminta kepada Lk. Adi untuk mengantarkan PEMOHON dirumahnya usai dilakukan penanganan oleh Puskesmas Marisa.
- Bahwa setelah PEMOHON sudah berada dirumah, tidak lama kemudian kepala desa botubilotahu yakni Ayah One Mbuinga yang tidak lain merupakan om dari Lk. Uchi (Terduga Pelaku) mendatangi PEMOHON untuk mengecek kondisi PEMOHON. Oleh karena, darah dibagian mata PEMOHON terus keluar, Ayah One Mbuinga segera menginisiasi untuk membawa PEMOHON ke RS. Multazam Pohuwato untuk memeriksa darah yang terus keluar dibagian mata PEMOHON. setelah itu, PEMOHON Kembali kerumahnya Bersama keluarga Bersama Ayah One Mbuinga kemudian PEMOHON beristirahat dan tidak lama kemudian Ayah One Mbuinga pamit pergi dengan memberikan uang kepada istri PEMOHON sebesar Rp. 2.200.000,-.
- Bahwa selanjutnya, pada sore hari di tanggal 12 Agustus 2025 Lk. Uchi (Terduga Pelaku) bersama ibunya dan Ayah One Mbuinga mendatangi rumah PEMOHON bermasud melihat kondisi PEMOHON, namun PEMOHON sudah dibawah oleh istrinya dan kakaknya Kembali ke RS. Multazam Pohuwato untuk dilakukan rawat inap dikarenakan kondisi PEMOHON sudah lebih parah, sehingga Lk. Uchi (Terduga Pelaku) bersama ibunya dan Ayah One Mbuinga hanya bertemu dengan ibu PEMOHON, kemudian Lk. Uchi (Terduga Pelaku) bersama ibunya meminta maaf kepada ibu PEMOHON atas insiden yang terjadi tersebut dan memberikan uang sebesar Rp. 10.000.00,- untuk biaya pengobatan PEMOHON.
- Bahwa pada tanggal 13 Agustus 2025, PEMOHON di rujuk di RS. Multazam kota Gorontalo, setelah tibanya di RS. Multazam dokter yang memeriksa mata dari PEMOHON tidak ada, kemudian keluarga mengarahkan ke RS. Aloisaboe, kemudian PEMOHON di lakukan pemeriksaan REKAM MEDIC, setelah itu PEMOHON dibawah ke tempat praktek THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan) dan hasil pemeriksaannya di sampaikan bahwa PEMOHON mengalami keretakan tulang halus hidung.
- Bahwa kemudian, pada tanggal 14 Agustus 2025, PEMOHON pergi ke klinik mata SMAC Gorontalo untuk memeriksa matanya.
- Bahwa pada malam tanggal 13 Agustus 2024, disaat PEMOHON berada dikota Gorontalo, Lk. Uchi (Terduga Pelaku) bersama istrinya mendatangi rumah PEMOHON, namun yang ditemui oleh Lk. Uchi (Terduga Pelaku) hanyalah kakak PEMOHON yakni Pr. Yul dan Lk. Yasin . Kemudian Lk. Uchi (Terduga Pelaku) dan Pr. Yul dan Lk bercerita tentang kejadian tersebut. kemudian Pr. Yul menanyakan “Kenapa Kau Pukul Dia uti?” Kenapa kamu memukul PEMOHON, “Dia Ada Salah Apa Sama Kau?” PEMOHON ada salah apa, lalu di jawab oleh Lk. Uchi (Terduga Pelaku) “Saya Minta Maaf”, “Dia tidak ada salah utoy” Saya Minta maaf, PEMOHON tidak ada salah. Kemudian Lk. Yasin bertanya kepada Lk. Uchi (Terduga Pelaku) “Kau Ada Luka Te Eza Ada Pukul” Apakah anda terluka dipukul PEMOHON, Lk. Uchi (Terduga Pelaku) menjawabnya “Tidak Ada Cuman Saya Pe Tangan Ba Bangka” Tidak ada, saya hanya mengalami bengkak bagian tangan. Selanjutnya, Pr. Yul bertanya “Kinapa Tidak Pukul Di Tempat Lain ati, Kinapa So Di Mata?” kenapa tidak di pukul dibagian tubuh lain, kenapa harus mata, lalu Istri Lk. Uchi (Terduga Pelaku) menjawabnya “So Mabo Ka Jadi Dia So Tidak Tau Yang Dia Ba Pukul Akan” Sudah Mabuk dan Lk. Uchi (Terduga Pelaku) sudah tidak mengetahui bagian mana yang di pukul oleh Lk. Uchi (Terduga Pelaku) kepada PEMOHON.
- Bahwa setelah balik dari kota, PEMOHON Kembali merasakan kesakitan pada bagian matanya, kemudian keluarga membawa PEMOHON ke RSUD BUMI PANUA untuk dilakukan perawatan dengan dilakukan rekam medic dan di foto rontgen.
- Bahwa pada tanggal 19 Agustus 2025, PEMOHON menuju ke kota Gorontalo untuk mendatangi klinik mata (SMAC) dengan kondisi mata kiri PEMOHON sudah tidak bisa melihat dan hitam, setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter di klinik mata (SMAC), dokter menyarankan untk di rawat inap di RS. Toto Kabila oleh karena dokter yang di klinik mata (SMAC) bertugas di RS. Toto Kabila tersebut.
- Bahwa kemudian pada malam harinya disaat PEMOHON dirawat inap di RS. Toto Kabila, Lk. Uchi (Terduga Pelaku) bersama istrinya datang berkunjung dengan melihat kondisi langsung PEMOHON. Dan Lk. Uchi (Terduga Pelaku) langsung memeluk PEMOHON dan meminta maaf atas apa yang Lk. Uchi (Terduga Pelaku) lakukan kepada PEMOHON serta menyampaikan akan bertanggungjawab dan menemani PEMOHON berobat sampai sembuh.
- Bahwa sebagaimana hasil pemeriksaan RS. Toto Kabila, bahwa PEMOHON mengalami LEUKOSIT (Darah Putih) yang naik drastis sehingga mengakibatkan infeksi dari luka bagian mata PEMOHON. Oleh karena, kondisi PEMOHON semakin parah maka PEMOHON di rujuk ke RS. Prof Kandou Manado.
- Bahwa dalam perjalanan pengobatan di RS. Prof Kandou Manado tanggal 25 Agustus 2025 tersebut, selain istri PEMOHON dan keluarga, ikut pula Lk. Uchi (Terduga Pelaku) Bersama istrinya menemani PEMOHON berobat.
- Bahwa sepulangnya PEMOHON dari Manado, PEMOHON menilai Lk. Uchi (Terduga Pelaku) lari dari tanggungjawabnya terhadap apa yang dilakukan kepada PEMOHON, sementara kondisi PEMOHON saat itu mata kirinya sudah tidak bisa melihat. Sehingga pada tanggal 10 September 2025, PEMOHON melaporkan kejadian tersebut di Polres Pohuwato In Casu TERMOHON sebagamaina Laporan Polisi Nomor : LP/B/150/IX/2025/SPKT/Res-Phwt/Polda-Gtlo tentang dugaan pengaiyaan, A.n Pelapor PEMOHON dan Terlapor Adalah Lk. Uchi (Terduga Pelaku).
- Bahwa setelah PEMOHON melaporkan kejadian tersebut di Polres Pohuwato In Casu TERMOHON, PEMOHON dikagetkan dengan adanya laporan balik dari Lk. Uchi (Terduga Pelaku) yang melaporkan PEMOHON atas dugaan Penganiayaan terhadap Lk. Uchi (Terduga Pelaku) sebagaimana dalam Laporan Polisi : LP/B/151/IX/2025/SPKT/Res-Phwt.
Berdesarakan kronologis singkat tersebut diatas, terdapat perbandingan jejak rekam medic antara PEMOHON dan Lk. Uchi (Terduga Pelaku) yang berakhir dengan lapor melapor satu sama lain yakni :
- Bahwa pasca insiden tanggal 12 Agustus 2025, sampai dengan sekarang PEMOHON mengalami kebuataan mata kiri seumur hidup, sebagaiman Riwayat pengobatan PEMOHON, mulai dari Puskesmas Marisa, Rs. Multazam Pohuwato, Rs. Multazam Gorontalo, RSUD POHUWATO, Klinik Mata SMAC, RS. Toto Kabila, Rs. Kondou Manado, dan berakhir Rs. Bhayangkara Gorontalo (saat perkara ditangani oleh TERMOHON).
- Bawha selama pengobatan PEMOHON sebelum adanya Laporan Polisi, Lk. Uchi (Terduga Pelaku) mendatangi PEMOHON dan keluarga meminta maaf atas apa yang dilakukan kepada PEMOHON, serta berjanji akan bertanggungjawab atas pengobatan PEMOHON. Dan sempat memperlihatkan tangannya kepada keluarga PEMOHON Dimana tangan Lk. Uchi (Terduga Pelaku) bengkak akibat memukul PEMOHON.
- Bahwa selama Lk. Uchi (Terduga Pelaku) menemani PEMOHON berobat di beberapa Rumah Sakit, kondisi Lk. Uchi (Terduga Pelaku) sehat dan tidak terdapat luka robek pada bagian bibirnya maupun lecet lainya sebagaimana diperlihatkan oleh TERMOHON pada Press Conference tanggal 27 November 2025. (Bukti Foto Akan Ditunjukan Dalam Persidangan);--------------------------------------------------------------------
Tentang Hukumnya :
- PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
- Bahwa mengenai penetapan tersangka No : S.Tap/91.a/XI/RES.1.6/2025/Reskrim kepada PEMOHON, kuasa hukum PEMOHON menilai bahwa TERMOHON terlalu memaksakan kehendaknya untuk menetapkan tersangka kepada PEMOHON, dimana menurut TERMOHON setelah dilakukan penyidikan terhadap laporan Lk. Uchi (Terduga Pelaku) No : LP/B/151/IX/2025/SPKT/Res-Phwt. Bahwa terdapat 2 Alat bukti yaitu keterangan saksi dan Visum Et Repertum yang terpenuhi untuk mengarah ke PEMOHON mengenai dugaan penganiayaan terhadap Lk. Uchi (Terduga Pelaku) sebagaimana dalam pasal 351 ayat (1) KUHP.
Bahwa “Lumiintang dan Theo Lamintang” Tindak pidana penganiayaan atau Mishandeling diartikan sebagai sebuah kesengajaan yang menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Dengan demikian, untuk menyebut seseorang itu telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain maka orang tersebut harus mempunyai suatu kesengajaan untuk menimbulkan luka atau rasa sakit pada orang lain.
Penganiayaan mengandung arti “sebuah perlakuan sewenang-wenang dalam rangka menyiksa maupun menindas oang lain. Penganiayaan sendiri yang mendapatkan rasa sakit ataupun luka pada sekujur tubuh atau anggota badan orang lain merupakan suatu tindakan melawan hukum. Penganiayaan dapat terjadi karena kesengajaan dan terkadang karena kesalahan. Kesalahan yang disengaja mengindikasikan sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh pelaku dengan sikap permusuhan.
- Bahwa tentang dua alat bukti permulaan TERMOHON sampaikan dalam rapat gelar perkara khusus Jum’at 24 Oktober 2025 No : B/1314/X/RES.1.6/2025/Reskrim yaitu Keterangan Saksi-Saksi dan Visum Et Repertum menurut kami kuasa hukum PEMOHON terdapat kesejangan dan perlu untuk diperdebatkan lanjut. Bahwa jika Visum Et Repertum dijadikan TERMOHON sebagai alasan agar terpenuhi minimal dua alat bukti sebagaimana dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP maka TERMOHON terlalu memaksakan kehendaknya.
Bahwa KUHAP tidak memberikan pengaturan secara tegas mengenai pengertian Visum et Repertum. Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan definisi Visum et Repertum yaitu Staatsblas Tahun 1937 Nomor 350, disebutkan dalam ketentuan Staatsblas bahwa “Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Pada KUHAP tidak terdapat satu Pasal pun yang secara eksplisit memuat perkataan Visum et Repertum. Hanya didalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 pada Pasal 1 dinyatakan bahwa Visum et Repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara perkara pidana.
Bahwa Visum merupakan pengganti Corpus Delicti yang mana menjadi sebuah penemuan obyektif yang dilakukan oleh dokter ahli dalam alat bantu pembuktian kebenaran atas keadaan atau peristiwa yang terjadi berdasarkan pemeriksaan atas dasar fakta-fakta yang ada. Melalui analisis dari ahli dengan kemampuan ahlinya tersebut, diharapkan sarana pembuktian ini jadi sebuah kesimpulan yang tepat. Dibutuhkan pemenuhan dua syarat supaya Visum sah untuk dianggap alat bukti yaitu syarat formil dalam pembuatan Visum yang berdasarkan atas instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/IX/75 dan syarat materiil pembuatan Visum yang mana berisikan hasil Visum yang sesuai dengan kondisi pemeriksaan pada tubuh yang diperiksa dan telah teruji kebenarannya melalui ilmu kedokteran.
Bahwa Persyaratan visum et repertum sebagai alat bukti diatur cukup jelas dalam Pasal 133 KUHAP. Ada 2 (dua) syarat visum et repertum yaitu syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil suatu visum adalah harus diajukan secara tertulis dan tidak dibenarkan permintaan atas peristiwa yang telah lampau.
Bahwa Menurut Dokter Abdul Aziz SpF, kepala instalasi kedokteran forensik dan medikolegal. Menurutnya seharusnya setelah tindak pidana dilakukan atau peristiwa kekerasan terjadi harus segera untuk melakukan Visum Et Repertum untuk mengetahui kondisi objek saat kejadian, visum harus dimintakan segera setelah kejadian tersebut. Otentik, karena untuk menerangkan (kondisi) ketika itu, dan bukan (kondisi) yang dahulu. Bila kejadiannya sudah lampau, yang dituliskan tetap kondisi pada saat pasien datang untuk melakukan pemeriksaan Visum bukan berdasarkan kejadian tindak pidana dilakukan. dengan demikian bahwa Visum Et Repertum yang dilakukan tanggalnya dan tahunnya awal dari kejadian tindak pidana tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan tindak pidana penganiayaan tersebut.
- Bahwa apabila dikaitan dengan perkara yang dihadapi PEMOHON, bahwa hasil Visum Et Repertum An. Lk. Uci Adalah hasil visum yang tidak sama sekali ada hubungannya dengan perkara a quo. Oleh karena, kejadian tersebut dilaporkan tanggal 10 September 2025 adalah kejadian yang terjadi pada tanggal 12 Agustus 2025. Dimana setelah kejadian secara fakta historisnya yang justru sebagai korban Adalah PEMOHON sendiri yang sampai pada kebutaan mata kirinya sebagaimana dalam uraian kronologis singkat diatas. (Bukti-bukti kondosi foto Lk. Uci akan terlampir).
- Bahwa tentang bukti foto yang TERMOHON tunjukan pada Press Conference tanggal 27 November 2025 itu sama sekali tidak ada hubungannya dalam perkara a quo. Sehingga TERMOHON perlu memeriksa Kembali dokumen bukti yang telah dikantongi termasuk Visum Et Repertumnya, dilakukan kapan dan disesuaikan dengan tanggal persitiwa awal kejadian tersebut.
- Bahwa selanjutnya. TERMOHON sama sekali tidak menerangkan secara jelas dan mampu dipahami PEMOHON tentang hasil Visum Et Repertum tersebut. Bahwa dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka yang bersangkutan memiliki seperangkat HAK yang harus dipenuhi. Adapun salah satu haknya berhubungan dengan mempersiapkan pembelaan, yaitu “tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai”, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 huruf a KUHAP.
Bahwa Penjelasan Pasal 51 huruf a KUHAP diterangkan dengan diketahui serta dimengerti oleh orang yang disangka melakukan tindak pidana tentang perbuatan apa yang sebenarnya disangka telah dilakukan olehnya, maka ia akan merasa terjamin kepentingannya untuk mengadakan persiapan dalam usaha pembelaan. Dengan demikian ia akan mengetahui berat ringannya sangkaan terhadap dirinya sehingga selanjutnya ia akan dapat memperimbangkan tingkat atau pembelaan yang dibutuhkan, misalnya perlu atau tidaknya ia mengusahakan bantuan hukum untuk pembelaan. Sehingga tersangka berhak mengetahui apa isi visum et repertum tersebut karena tersangka berhak atas segala informasi terhadap permasalahan hukum yang menimpa dirinya. Tersangka berhak meminta isi visum et repertum tersebut kepada penyidik/polisi.
Bahwa dikaitkan dengan perkara a quo, TERMOHON yang diwakili oleh KHOIRUNNAS, S.I.K.,M.H selaku Kepala Satuan Reserse Kriminal dalam rapat gelar perkara khusus Jum’at 24 Oktober 2025 No : B/1314/X/RES.1.6/2025/Reskrim menyampaikan hanya bersifat umum tentang telah adanya dua bukti permulaan yang dapat dinaikkan status PEMOHON menajdi tersangka, bahkan TERMOHON tidak memberitahukan pada tanggal keluarnya Visum Et Repertum, menurut TERMOHON hal itu Adalah hal-hal formil yang tidak harus disampaikan sebagaimana TERMOHON menjawab pertanyaan kuasa hukum yakni “Meminta Untuk Bisa Di Sampaikan ke keluarga PEMOHON Pada Tanggal Berapa Visum Et Repertum Dilakukan Kepada Sdr. Uci”. Pada hal tersebut merupakan hak hukum dari PEMOHON untuk mengetahui tentang permasalahan hukum yang menimpa PEMOHON sebagaimana dalam Pasal 51 huruf a KUHAP. Sehingga menurut kami kuasa hukum PEMOHON terdapat ketimpangan dan kerancuan terhadap kebenaran bukti permulaan yang di kantongi TERMOHON dan sengaja TERMOHON sembunyikan;------------------------------------------------------------------------------
D. KEWAJIBAN HUKUM UNTUK MENDAHULUKAN PRA PERADILAN
- Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU XII/2014, tanggal 28 April 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa lembaga praperadilan berwenang untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka.
- Bahwa dalam permohonan praperadilan PEMOHON, yang menjadi alasan Permohonan Peradilan adalah untuk menguji keabsahan Penetapan PEMOHON sebagai Tersangka yang dilakukan TERMOHON. Meskipun dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan bahwa apabila perkara praperadilan belum selesai diperiksa, praperadilan harus diputuskan gugur apabila perkara pokoknya sudah mulai diperiksa, akan tetapi implementasi pasal tersebut menjadi berbeda setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan lembaga praperadilan berwenang mengadili penetapan tersangka, dimana penetapan tersangka merupakan induk dari segala upaya paksa yang berujung pada pemeriksaan pokok perkara oleh pengadilan.
- Bahwa sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, khususnya harus dimaknai dan dibaca bahwa merupakan kewajiban dan kewenangan Lembaga praperadilan untuk terlebih dahulu menguji keabsahan penetapan seseorang menjadi tersangka, karena penetapan tersangka yang dilakukan secara sah yang dapat diadili. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP harus dibaca bahwa perkara tidak boleh diperiksa oleh pengadilan ketika ada permohonan praperadilan yang sedang diperiksa dan belum diputus.
- Bahwa untuk itu TERMOHON sepatutnya dan berkewajiban untuk menghormati Proses Hukum Praperadilan ini dengan tidak melakukan proses penyidikan, penuntutan sampai Permohonan Praperadilan ini diputus;----------------------------------------------------------------
E. PEMOHONAN
Berdasarkan uraian di atas, sangat beralasan bilamana Praperadilan yang dimohonkan PEMOHON diajukan ke hadapan hakim, sebab yang dimohonkan oleh PEMOHON untuk diuji oleh pengadilan adalah berubahnya status PEMOHON yang menjadi Tersangka dan akan berakibat hilangnya kebebasan PEMOHON, dilangggarnya hak asasi PEMOHON akibat tindakan TERMOHON yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang ditentukan oleh hukum acara pidana dan dilakukan dengan prosedur yang salah dan menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana dalam hal ini KUHAP, maka PEMOHON mohon agar Pengadilan Negeri Marisa yang memeriksa dan memutus perkara berkenan menjatuhkan putusan dengan amar, sebagai berikut :
- Mengabulkan Permohonan PEMOHON Praperadilan untuk seluruhnya;-----------------------------------------------------------------------------------
- Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai Tersangka terhadap diri PEMOHON yang diduga melanggar melanggar Pasal 351 Ayat (1) tentang Dugaan Penganiayaan adalah TIDAK SAH;-----------------------
- Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No : SP. Sidik/76/IX/Res.1.6/2025/Reskrim;--------------------------------------------------
- Menyatakan TIDAK SAH segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON dan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON;-----------------------
- Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku;-----------------------------------------------------
SUBSIDAIR
Apabila Ketua Pengadilan Negeri Marisa Cq. Yang Mulia Majelis Hakim yang Memeriksa dan Mengadili serta Memutus Perkara ini berpendapat lain, maka kami memohon keputusan yang seadil-adilnya (Ex aequo et bono);--------------------------------------------------------------------------------------------------- |